Laman

Wednesday, October 27, 2010

Indonesia Benua yang Hilang
Indonesia dan Banjir Nabi Nuh 


Jakarta - Seorang ilmuwan dari Univeritas Oxford, Inggris, meyakini banjir Nabi Nuh adalah fakta sejarah yang terjadi di kawasan Indonesia. Kisah banjir Nuh diyakini sebagai pemicu migrasi massal dari benua Sundaland yang tenggelam.

Profesor Stephen Oppenheimer menulis buku Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara, untuk mengungkapkan penelitiannya. Pakar genetika ini juga sekaligus mendalami antropologi dan folklore yang mengkaji dongeng-dongeng dunia.

Menurut dia, satu-satunya dongeng yang menyebar luas di dunia secara merata adalah kisah banjir Nabi Nuh dengan segala versinya. Umat Islam, Kristen dan Yahudi tentu mendapatkan kisah banjir Nuh dari kitab suci masing-masing.

Namun, bagaimana dengan masyarakat pra Islam, Kristen dan Yahudi? Misalnya saja bangsa Sumeria, Babilonia, India, Yunani. Mereka pun ternyata punya kisah banjir bandang yang menenggelamkan seluruh daratan.

Buku Eden in The East setebal 814 halaman ini, separuhnya dihabiskan Oppenheimer untuk membedah dongeng-dongeng ini. Oppenheimer mencatat ada sekitar 500 kisah soal banjir di seluruh dunia. Dari India sampai Amerika, dari Australia sampai Eropa.

Tokoh utamanya pun berubah-ubah. Agama samawi menyebutnya Nuh, atau Noah. Bangsa Mesopotamia menyebut sang jagoan adalah Utanapishtim, di Babilonia kuno disebut Athrasis, orang India kuno menyebutnya Manu.

Nama boleh beda, namun inti ceritanya sama. Ada banjir besar yang menenggelamkan daratan, sang tokoh utama menyelamatkan diri dengan perahu, atau kapal besar. Dia pun tidak lupa membawa hewan-hewan. Kapalnya nanti mendarat di gunung dan sang tokoh utama bersama keluarga atau pengikutnya melanjutkan kehidupan mereka yang baru.

Oppenheimer pun mengungkapkan, kisah-kisah banjir lebih banyak lagi terdapat di Asia Tenggara. Variasinya sangat bermacam-macam pada berbagai suku pedalaman di Indonesia, Malaysia, Filipina dan pulau-pulau di Polinesia.

Tingkat keberagaman cerita banjir di kawasan ini pun membuat Oppenheimer berteori, kalau bangsa yang terpaksa berimigrasi akibat banjir besar, tinggal di Indonesia dan sekitarnya. Semua kisah banjir ini menurut Oppenheimer adalah bukti kalau banjir besar di penghujung Zaman Es ini adalah benar adanya.

Jika Anda ingin mendalami kisah Indonesia sebagai benua yang tenggelam, buku Eden in The East sudah diterbitkan oleh Ufuk Press. Anda bisa mendapatkannya di toko-toko buku terdekat.
  
Indonesia Benua yang Hilang
Pesan Rahasia di Balik Gunungan Wayang  


Jakarta - Siapa yang tidak tahu gunungan dalam pementasan wayang kulit? Semua berpikir gunungan berasal dari tradisi Hindu. Namun riset terbaru menunjukkan gunungan memiliki akar budaya ribuan tahun saat Indonesia adalah sebuah benua di akhir Zaman Es.

Fakta yang mungkin mengagetkan orang ini diungkapkan seorang profesor asal Universitas Oxford, Inggris, Stephen Oppenheimer. Dalam buku Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara, Oppenheimer menjelaskan penduduk di benua Sundaland berimigrasi ke seluruh dunia pada akhir Zaman Es.

Sundaland adalah kawasan Indonesia dan sekitarnya. Saat penduduknya berimigrasi, mereka membawa semua pengetahuan dan budaya mereka, termasuk filosofi luhur soal kehidupan manusia yang paling mendasar yaitu siklus kehidupan, dan kesuburan bumi.

Menurut Oppenheimer, filosofi ini disimbolkan oleh tiga hal yaitu pohon, burung dan ular. Ketiga simbol ini tersebar di seluruh dunia misalnya saja kisah ular naga di berbagai kebudayaan dunia, atau burung yang indah mulai dari phoenix sampai merak, dan kisah pohon kehidupan mulai dari beringin sampai Jack dan pohon kacang ajaib.

Namun di Indonesialah ketiga aktor kehidupan ini masih berkumpul. Berbagai produk budaya di Indonesia, menampilkan pohon, burung dan ular dalam satu tempat. Jika tidak percaya, buktinya adalah gunungan dalam wayang kulit.

Silakan melihat gambarnya, dan Anda akan menemukan pohon, ular dan burung. Motif serupa juga kerap muncul dalam motif kain batik dan tenun ikat Sumatera atau Sumbawa.

Jika Anda berkilah ini adalah pengaruh Hindu, bagaimana dengan motif ornamen rumah suku Dayak Kenyah? Dayak Kenyah tidak terkena pengaruh Hindu dan mereka pun menampilkan pohon, ular dan burung dalam satu tempat.

Pak Dalang hari ini mungkin akan menerjemahkan gunungan wayang sebagai tanda pergantian babak dalam lakon wayang. Gunungan adalah simbol dunia atau hutan rimba. Namun menurut Oppenheimer, ribuan tahun lalu, maknanya tidak sesederhana itu.

Pohon oleh para penduduk Sundaland di masa silam adalah sumber kehidupan. Dari pohon mereka mendapatkan buah-buahan dan tanda kesuburan tanah. Sundaland yang berada di iklim tropis diberkahi dengan hutan lebat, ketika belahan dunia lain berselimutkan es.

Sedangkan burung dan ular adalah simbol dari Sang Pencipta. Burung adalah simbol langit dan juga maskulinitas. Ular adalah simbol bumi dan feminitas. Perkawinan burung dan ular menghasilkan kesuburan bumi.

Pesan-pesan ini perlahan terlupakan, tergantikan atau tereduksi maknanya sebagai hasil peleburan berbagai budaya dunia. Namun di Indonesia, pesan-pesan asli masih bisa ditelusuri sebagai bukti di Nusantaralah peradaban itu berasal.

Ulasan Oppenheimer lebih lengkap bisa didapatkan dari buku Eden in The East yang diterbitkan oleh Ufuk Press.