Laman

Monday, September 6, 2010

Menghajikan Almarhum Ibu


Jakarta - Tanya:
Cita-cita saya adalah menyempurnakan rukun Islam ibu saya tapi sekarang ibu saya sudah tidak ada. Apakah naik haji untuk almarhum ibu saya dapat diwakilkan? Kalau bisa apa syarat orang yang dapat mewakilkannya? Apakah dengan cara itu ibu saya sudah menyempunakan rukun Islamnya yang ke-5? Terima kasih bantuannya.

(Fajrin Kurniawan, siddi.fajrin@gmail.com)

Jawab:
Mayoritas ulama berpendapat bahwa menghajikan orang lain dibenarkan berdasarkan beberapa hadits Nabi Saw dengan syarat-syarat tertentu, yang perinciannya diperselisihkan. Syarat yang mereka sepakati, antara lain, adalah bahwa orang yang dihajikan tidak dapat lagi melaksanakan haji karena wafat atau sakit yang diduga tidak dapat sembuh.

Imam Malik menolak ide menghajikan orang lain dengan upah atau tanpa upah serta dengan dalih apa pun, karena beliau menilai hadits-hadits yang berkaitan dengan persoalan menghajikan ini bertentangan, antara lain, dengan surah an-Najm ayat 39: Dan bahwa seorang manusia tidak akan memperoleh kecuali apa yang diusahakannya sendiri (QS an-Najm (53): 39).

Sebagian ulama yang membolehkan, mensyaratkan bahwa yang menghajikan haruslah anak dari orang yang dihajikan, karena hadits-hadits yang membolehkan dikemukakan Nabi Saw dalam konteks jawaban pertanyaan anak (lelaki dan perempuan). Akan tetapi, syarat ini ditolak oleh banyak ulama.

Agaknya, yang mensyaratkan ini menilai bahwa sang anak pastilah tulus dalam menghajikan orangtuanya dan tidak melakukannya untuk memeroleh upah. Saya cenderung menggarisbawahi hal ini, sehingga orang yang menghajikan tidak melakukannya atas dorongan memeroleh upah dan agar orang yang meminta untuk menghajikan benar-benar memilih orang yang tepat.

Sebab, jika tidak, nilai hajinya —paling tidak— akan berkurang. Seorang ulama besar, Muhammad bin al-Hasan, berpendapat bahwa menghajikan orang lain boleh dan sah bagi yang melakukannya. Tentu saja, ini dilakukan sesudah semua persyaratan dipenuhi. Sementara itu, orang yang dihajikan hanya memeroleh ganjaran dari nafkah haji.

Gelar haji untuk diri sendiri pada hakikatnya tidak dikenal dalam agama Islam. Namun, tidak ada larangan untuk menggunakannya. Di Timur Tengah hingga kini gelar itu tidak digunakan. Jadi, ini terpulang kepada adat kebiasaan suatu masyarakat. Sepanjang yang saya ketahui, masyarakat kita hanya memberi gelar haji untuk orang dewasa yang benar-benar telah melaksanakannya sendiri.

(M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an)

(Qur'an and Answer merupakan kerjasama dengan www.alifmagz.com)

Hukum Salat Sunnah Sebelum Maghrib


Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum wr wb. Bagaimana hukum salat sunnah sebelum maghrib? Setahu saya itu rawatib ghoiru muakkad, tetapi bila saya mengerjakannya, teman-teman menertawakannya. Orang-orang di masjid juga menatap saya dengan aneh? Apa salat sunnah sebelum maghrib sama dengan larangan salat sunnah sesudah ashar dan subuh?

(Marielee, mayasari.atmo@yahoo.com)

Jawab:

Penjelasan tentang salat sunnah dua rakaat sebelum shalat fardu maghrib ditemukan dalam beberapa hadits Nabi Saw dan analisis para ulama. Imam Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda, "Kerjakanlah salat dua rakaat sebelum maghrib (yakni, sesudah adzan maghrib), kerjakanlah salat dua rakaat sebelum maghrib!"

Pada kali ketiga, beliau menambahkan: "Bagi siapa saja yang mau (tambahan ini)," karena beliau tidak senang kalau orang menjadikan salat itu sebagai kebiasaan.

Imam Bukhari, Muslim, dan an-Nasa'i meriwayatkan juga bahwa sahabat Nabi, Anas bin Malik, menjawab ketika ditanya oleh al-Mukhtar bin al-Muqaffal, "Apakah Nabi Saw mengerjakan salat dua rakaat setelah masuk waktu maghrib dan sebelum salat fardu maghrib?"

Anas menjawab, "Beliau melihat kami mengerjakan salat, tetapi beliau tidak menyuruh dan tidak juga melarang kami." Ada sepuluh rakaat salat sunnah yang berkaitan dengan salat-salat wajib yang amat dianjurkan, yaitu: dua rakaat sebelum salat subuh, dzuhur, dan ashar, serta dua rakaat sesudah maghrib dan isya.

(M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an)

(Qur'an and Answer merupakan kerjasama dengan www.alifmagz.com)

Tentang Mazhab


1. Apakah antara safii, maliki, hambali, dan hanafi memperoleh mayoritas hadits dapat dari guru yang sama?

2. Apakah masing-masing imam mazhab tersebut memperoleh hadits sama-sama komplit?

3. Kenapa kita di zaman yang mana bisa menjumpai kitab hadits yang lengkap
kutubussitah dll, ada mustolahulkhadits. Untuk amalan ibadah kenapa kita merujuk pada 4 mazhab itu? Kenapa kita tidak langsung mamakai hadits soheh, hasan, dst seperti dalam mustolahulkhadits. Kenapa terjebak dengan pendapat mazhab yang terkadang hadits yang di dapat tidak sama.

4. Masing-masing mazhab punya dalil yang dipakai sebagai hujjah, kenapa kita tidak mengambil hadits yang lebih soheh di antara mereka, dan mengambil di bawah soheh selagi tidak bertentangan dengan yang soheh?

(Arrun, arrun_alrasyid@yahoo.com)

Jawab:
Hal yang wajib bagi umat Islam adalah mengikuti Allah Swt dan Rasul-Nya. Allah Swt telah menyampaikan kepada kita tuntunan-tuntunan-Nya dengan menurunkan kitab suci al-Qur'an sambil menugaskan kepada Nabi Muhammad Saw untuk menjelaskan apa telah diturunkan-Nya itu.

Tidak semua orang dapat memahami secara langsung petunjuk-petunjuk tersebut, bukan saja karena banyak yang tidak memahami bahasa al-Qur'an, tetapi juga karena banyak ayat dan hadits yang memerlukan analisis dan pendalaman yang untuk melakukannya dibutuhkan banyak syarat. Dari sini, mereka yang memenuhi syarat-syarat itu tampil melakukan apa yang dinamai ijtihad dan hasil ijtihad mereka itulah yang dinamai mazhab.

Dengan demikian, mazhab pada hakikatnya adalah pemahamanterhadap firman Allah Swt dan hadits Rasul saw. Pada saat seseorang mengikutinya, pada hakikatnya, dia tidak mengikuti seorang imam mazhab, tetapi dia mengikuti Allah Swt dan Rasul-Nya sebagaimana dipahami oleh imam mazhab itu. Bagi siapa yang tidak mampu melakukan ijtihad, dia diharapkan melakukan pembahasan dan penilaian atau paling tidak memahami dalil dan alasan mengapa imam mazhab A berpendapat demikian dan imam mazhab B berpendapat berbeda.

Selanjutnya, dia memilih mana di antara kedua pendapat yang berbeda itu yang dinilainya memiliki dalil yang lebih kuat. Di sini, yang bersangkutan tidak bertaklid buta, tetapi mengikuti dengan kejelasan. Tentu saja, orang awam tidak dapat melakukan seperti yang telah diuraikan tadi. Tidak ada jalan lain untuk dia kecuali bertanya kepada yang mengetahui. Dia tidak harus bermazhab tertentu.

Jawaban yang diberikan oleh ulama yang mempunyai mazhab atau yang mengikuti
salah satu mazhab, itulah yang menjadi pegangan atau mazhabnya. Kalau kali ini dia bertanya kepada seseorang yang bermazhab Syafi'i, tidak ada halangan esok dia bertanya kepada penganut mazhab Malik.

(M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an)

(Qur'an and Answer merupakan kerjasama dengan www.alifmagz.com)

Hadiah Hiburan di Bulan Ramadan


Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum wr wb. Sebelumnya saya minta maaf karena sering sekali mengajukan pertanyaan yang mungkin banyak orang sudah tahu, tetapi karena pengetahuan saya sangat sangat sangat minim saya berharap bisa mendapat jawaban dengan ridho Allah Swt.

Kali ini saya ingin mengajukan pertanyaan tentang hadiah yang diberikan Allah Swt kepada seluruh hambanya selain Lailatul Qadar yang berupa grand prize pada setiap bulan Ramadan, adakah hadiah hiburan lainnya yang bisa kita buru pada bulan suci ini.

Semoga Bapak Berkenan menjawabnya. Wassalamualaikum wr wb.

(Lia S, lee.anndoang11@gmail.com)

Jawab:
'Hadiah hiburan' pada bulan Ramadan, antara lain, adalah pahala amalan sunnah dilipatgandakan menjadi senilai amalan wajib. Selain itu, orang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh akan mendapat 'hadiah' berupa pengampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu.

Juga, orang yang berpuasa, kelak akan mendapat kebahagiaan saat bertemu dengan
Tuhannya, selain kebahagiaan pada saat berbuka puasa di dunia. Bulan puasa adalah bulan turunnya al-Qur'an, oleh karena itu membaca dan/ atau menghayati makna al-Qur'an merupakan ibadah yang sangat baik dan ber-'hadiah' besar: sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan al-Qur'an. Dan lain-lain. Demikian, wallahu a'lam.

(Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an)

(Qur'an and Answer merupakan kerjasama dengan www.alifmagz.com)

Adab Menggauli Istri

GB
Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum. Pak Ustadz saya mau bertanya mengenai:
1. Apakah boleh mandi wajib dan berwudhu menggunakan air yang berwarna, seperti air sumur yang tidak jernih karena bercampur tanah?
2. Bolehkah melakukan hubungan suami istri dengan cara (maaf) oral seks?

Jawab:
1. Air berwarna karena pengaruh tanah tidak najis dan boleh digunakan untuk bersuci.
2. Menyangkut hubungan seks, Islam memberi banyak petunjuk, yang pada intinya adalah bahwa hubungan tersebut  hendaknya bersih, bermoral, dan tidak seperti
binatang. Kerena itu, misalnya Nabi Saw berpesan agar jangan sampai suami istri dalam berhubungan tanpa busana sama sekali, seperti halnya binatang ketika berhubungan (HR. Abu Majjah).

Aisyah ra, istri Nabi Muhammad Saw, menginformasikan bahwa Nabi Saw tidak melihat yakni 'itu'nya dan dia pun demikian. Itulah akhlak yang diajarkan Islam.

Tetapi apakah itu berarti oral seks diharamkan? Sementara ulama mengharamkan oral seks dengan alasan bahwa itu adalah budaya dan sikap abnormal yang bersumber dari Barat yang kafir, bertentangan dengan muru'ah (kehormatan diri), dianggap buruk oleh rasa dan agama, serta mengakibatkan mudharat. Begitu antara lain argumentasi Prof. Wahbah az-Zuhaily, seorang ulama kontemporer yang cenderung mengharamkannya.

Tetapi ada juga ulama kontemporer lainnya, seperti Syekh Yusuf al-Qardhawy, yang menilai oral seks –dari segi hukum— sebagai boleh-boleh saja. "Kita tidak harus memaksakan adat istiadat Timur dan 'rasa' kita kepada orang lain."

Saya menambahkan bahwa ulama-ulama masa lalu mendefinisikan pernikahan antara lain sebagai akad yang dengannya menjadi halal bagi pasangan memanfaatkan seluruh tubuh pasangannya dari kepala sampai kaki. Bahwa dia bertentangan dengan muru'ah dan rasa, bukanlah alasan karena itu relatif.

Memang kalau terbukti oral seks itu berdampak buruk, maka ia wajar dilarang, tetapi belum ada bukti yang pasti tentang hal tersebut. Betapapun kita dapat berkata bahwa akhlak yang diajarkan Rasulu Saw tidak membenarkan oral seks, tetapi dari segi hukum, ulama berbeda pendapat. Demikian, wallahu a'lam.

(M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an)