Laman

Tuesday, August 31, 2010

Abidah El Khalieqy: Perempuan, Air, dan Api
DI tengah pasar yang ramai, di antara lalu lalang para pembeli dan pedagang, seorang perempuan berlari-lari dengan seember air di tangan kanan dan sebuah obor di tangan kiri. Orang-orang merasa heran hingga salah seorang di antara mereka berteriak lantang, ''Hai perempuan, apa yang ingin kau lakukan dengan air dan api?''

Lantang pula perempuan itu menjawab, ''Dengan air ini akan kupadamkan neraka, dan dengan api ini akan kubakar surga. Agar manusia tidak lagi menyembah Tuhan karena takut neraka dan berharap akan surga. Aku ingin setelah peristiwa ini, manusia hanya beriman dan beribadah kepada-Nya karena cinta.''

Mendengar jawaban itu, orang-orang pasar justru tertawa. Tak peduli sedikit pun kepada kata-katanya. Bahkan, mereka menganggap dia sebagai perempuan gila, manusia keturunan Adam yang kurang akal dan pikiran. Namun, banyak juga di antara mereka yang tersipu, langsung bersujud ke tanah karena didera rasa malu. Sebab, kata-kata yang terucap dari mulut perempuan itu serasa anak panah menusuk jantung kalbu.

Betapa dahsyat amsal air dan api jika diucapkan orang yang terlibat sepenuh hati. Meski sudah berabad-abad lamanya, perempuan itu masih dikenang dan dihormati sepanjang sejarah. Dialah Rabiah al-Adawiyyah, manusia 'abid (ahli ibadah) yang selalu dikisahkan dalam narasi kehidupan orang-orang beriman. Menjadi bagian jiwa dari keteguhan kaum muslim yang senantiasa bekerja dan berdoa, berpikir dan berzikir untuk menggapai kualitas takwa.

Kini, di tengah sejarah yang berjalan ini, kita pun perlu berguru kepada hikmah tersembunyi di balik amsal air dan api yang diucapkan Rabiah. Karena senyatanya, keberlangsungan hidup manusia tak bisa berpisah dengan air dan api. Sebab, air adalah darah, sumber, dan inti kehidupan di muka bumi. Sedangkan api melambangkan gairah yang terus berubah untuk mencair-hanguskan segala yang beku dan tidak berguna dalam kehidupan manusia.

Dari sisi lain, amsal air dapat juga ditafsirkan sebagai gambaran budaya masyarakat yang bersih, jujur, dan kukuh kepada amanah. Sedangkan api membiaskan aspek-aspek perilaku berdebu, penuh rekayasa, dan tipu muslihat. Karena itu, air juga berarti moral dan api sebagai nalar. Moral merupakan inti ajaran agama yang bersifat tetap dan abadi. Sementara nalar merupakan sarana ilmu dan pengetahuan yang terus berubah, bergerak, dan berevolusi tanpa arah yang pasti.

Tetapi, esensi moral dan nalar akan senantiasa berkelindan dalam sejarah peradaban manusia. Keduanya pun tidak mungkin diasingkan dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi dalam upaya mewujudkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan bagi umat manusia, kedudukan moral dan nalar mesti bisa dipersatukan sesuai dengan proporsi, kaidah, dan aturan-aturan yang melingkupi. Sebab, jika manusia hanya bergantung kepada moral, hidup serasa membubung dalam ruang hampa. Dan jika hanya berpedoman kepada nalar, hidup seakan terkurung dunia fana, dibelenggu kesementaraan waktu, serta takut kepada kemelaratan dan kematian sia-sia.

Demikian pula halnya untuk menengarai isu-isu keperempuanan yang berkembang di kalangan muslim, baik dalam ruang domestik (keagamaan) maupun di ranah publik (kemanusiaan). Tanpa harus didefinisikan ke dalam gerakan feminisme atau bukan, bagian ibadah atau dakwah, upaya-upaya kreatif dan konstruktif kaum muslim untuk mengatasi masalah-masalah keperempuanan mesti juga didasarkan kepada asas moral dan nalar. Dengan demikian, upaya-upaya tersebut dapat dielaborasi sebagai jalan indah untuk berbenah, meluruskan yang bengkok dan cenderung salah, sekaligus memberi inspirasi siapa saja untuk ikut berperan mengatasi berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan baik dalam konteks kehidupan beragama maupun dalam bernegara dan berbangsa.

Sebab, senyatanya, masih saja ada di antara kaum muslim yang bersikap abai, bahkan melalaikan isu-isu keperempuanan yang berkembang dalam lingkup kehidupan individu dan keluarga, di lingkungan madrasah, maupun masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, kelalaian sebagian kaum muslim terhadap isu-isu keperempuanan berarti sama dengan membenarkan adanya bentuk pemikiran, sikap, dan perilaku budaya yang melawan prinsip-prinsip agama serta kemanusiaan. Termasuk di dalamnya praktik-praktik diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan pelecehan terhadap hak-hak reproduksi, keselamatan, serta kebahagian kaum perempuan. Padahal, sejatinya, praktik-praktik serupa itu pastilah dianggap salah dan menyimpang, bahkan tidak bisa diterima sebagai hasil penafsiran terhadap prinsip dan ajaran Islam.

Tidak sedikit ayat-ayat Alquran dan hadis yang menunjukkan bahwa asal-usul manusia itu sama. Laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan dari segumpal darah, kemudian diberi roh, dan dilahirkan ke dunia dengan fitrah yang sama pula. Demikian pula halnya dengan dalil-dalil yang terkait dengan eksistensi dan status perempuan. Tidak ada satu pun ayat Alquran yang menyatakan bahwa perempuan itu bukan abdillah (penegak agama) dan khalifatullah (penggerak budaya). Secara otomatis, eksistensi dan status perempuan di muka bumi tidak lebih rendah derajatnya daripada laki-laki. Keduanya memiliki tugas dan kewajiban agama yang sama untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Begitu pula dalam soal keimanan dan ketakwaan, tidak ada satu pun dalil yang ''sahih'' dan dapat dijadikan alasan untuk membedakan kualitas keimanan dan ketakwaan tersebut berdasar jenis kelamin.

Karena itu, di pengujung hari-hari bulan suci ini, kita mesti merefleksi diri. Melakukan muhasabah atas segala bentuk pemikiran, sikap, perilaku, dan niat ibadah yang barangkali masih keliru, masih jauh dari yang dituju. Sebagaimana juga tersirat dalam kisah perempuan, air, dan api di awal tulisan, kita pun perlu berkaca. Munajat cinta. Meneguhkan keyakinan di hadapan Yang Maha Rahman untuk melihat wajah sendiri sembari terus bertanya dalam hati; apakah diri ini sudah termasuk golongan kaum beriman dan bertakwa (ashabul maimanah) ataukah masih terpuruk di negeri kaum tiran dan dusta (ashabul masy-amah). Kita pantas bersyukur andai mendapat hidayah-ampunan, hingga esok atau lusa mampu berperan sebagai kaum saleh di hadapan Tuhan, sekaligus saleh di mata masyarakat laki-laki maupun perempuan. Bukankah masih ada di antara kita, khususnya kaum muslimin, yang hanya tampak saleh di mata kaum laki-laki belaka?

Sebab, bisa jadi, kita sebenarnya cuma mengaku-aku sebagai kaum beriman dan bertakwa, tapi belum seutuhnya berbuat sesuatu yang maslahat bagi diri dan umat, bagi sesama manusia tanpa beda. Pun barangkali, kita sesungguhnya belum menjalankan perintah suci agama dengan cinta sepenuh hati. Demi menggapai rida Ilahi, mewujudkan kedamaian serta kesejahteraan di dunia dan akhirat nanti

No comments: